Oleh : Rika Febriani (Dosen Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Padang)
Di masa Orde Baru, Pancasila ditetapkan lahir pada 18 Agustus. Soeharto juga menetapkan Hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Oktober berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967, dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal kemudian diaplikasikan dalam sebuah ideologisasi dengan metode P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) melalui dunia pendidikan.
Di era reformasi, doktrin Pancasila ala Orde Baru ini sempat ‘menghilang’. Implikasinya, generasi milenial tidak lagi mengenal (P4), yang dulu dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan. Selain itu, pada masa Reformasi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diganti menjadi Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Merespon kondisi tersebut, semakin lunturnya penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari kemudian muncul wacana tentang ideologisasi Pancasila kembali diaktivasi. Upay aitu diwujudkan oleh Presiden Jokowi yaitu melalui Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Kelahiran Pancasila. Dalam Keppres ini ditetapkan bahwa tanggal 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila dan merupakan hari libur nasional.
Wujud dari upaya ideologisasi Pancasila di era Jokowi kemudian diemban oleh sebuah badan bernama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sebuah badan otonom yang bekerja sebagai pembantu Presiden dalam pembinaan ideologi Pancasila di Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah, pidato lisan Soekarno pada 1 Juni dihadapan anggota BPUPKI dijadikan sebagai langkah awal dalam memperkenalkan dasar-dasar negara yaitu Pancasila. Peristiwa inilah yang hari ini dikenang dan dinamai sebagai hari lahirnya Pancasila.
Di kemudian hari, pidato ini dibuatkan sebagai buku saku yang berjudul “Lahirnya Pancasila”, diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia (1947). Ketika Soekarno berkuasa (dan bahkan sampai saat sekarang), memang terjadi semacam pengkultusan terhadap sosok Soekarno.
Ketika pemerintahan Soekarno jatuh, muncul upaya “de-Soekarnoisasi” oleh penguasa Orde Baru sehingga dikesankan seolah-olah Soekarno tidak memiliki peran dalam penggalian dan perumusan Pancasila. Pada era Reformasi lah usaha untuk kembali ‘menghargai’ sumbangsih Soekarno—dalam hal ini melalui peringatan hari lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni, yang baru kita rayakan dalam 6 tahun terakhir.
Terlepas dari perdebatan ini, setiap rezim memiliki tafsir dan kebijaksaannya masing-masing terkait dengan penggunaan dan ‘pemanfaatan’ Pancasila sebagai ideologi negara.
Pancasila dan Rumah Gadang
Soekarno sendiri tampaknya memahami Pancasila sebagai ideologi negara yang diracik dari ‘rempah-rempah’ bermutu tinggi yang tanamannya tumbuh subur dalam praktik kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat ini bersifat religius, plural namun menjunjung persatuan, kolektif-argumentatif (musyawarah), dan pro pada keadilan sosial.
Di titik ini Pancasila sebagai ideologi negara dilihat sebagai Weltanschauung, yang berarti bahwa nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu yang telah ada, hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati dan diformalisasi sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag).
Sementara itu, ideologi dalam kepentingan politik praktis kita kenal dalam bentuk isme-isme. Utamanya yang terbesar di dunia adalah kapitalisme dan sosialisme. Berdasarkan hal ini, kita dapat menjernihkan pemahaman antara ideologi sebagai ilmu dan politik praktis.
Kalau misalnya Soekarno lebih memilih Marhaenisme, hal tersebut lebih kepada pilihan subyek perubahan, dan atau lebih praktis lagi, yaitu bahwa Marhenisme sebenarnya merupakan ‘segmentasi pasar politik’ Soekarno dalam konteks Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai kendaraan politiknya.
Barangkali pemaknaan seperti ini bisa turut membantu kita memaknai Pancasila sebagai “rumah gadang”, yaitu lokasi dimana yang lain ditambah Marhenisme berkamar, bernaung, dan sama-sama berlindung di bawahnya.
Pancasila adalah ideologi resmi negara yang sangat cocok dengan Minangkabau. Sebab sila pertama Pancasila bersifat sejalan, setujuan dengan ‘telos’ filosofi Minangkabau, yang tata cara kebudayaannya bersandikan syara’, yang syara’-nya bersandikan kitabullah—Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila dan Ideologisasi
Pancasila sulit dilepaskan dari istilah yang dalam ilmu politik disebut “ideologi”. Memandang ideologi memang dapat kita lihat dari berbagai sisi, namun secara kategoris setidaknya ada dua sudut pandang yang pada umumnya dipergunakan ketika menyoal ideologi: yakni ideologi sebagai ilmu (logos) dan ideologi dalam perspektif politik yang bersifat praktis.
Sebagai ilmu, subject matter ideologi adalah gagasan, ide, konsep dan pengertian dasar (the science of ideas). Istilah ideologi sebagai sains pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf Perancis bernama Antoine Destutt de Tracy di akhir abad ke-18. Sementara itu, seturut klaim kepraktisannya, ideologi bisa dipahami sebagai “telos”, yaitu satu set gagasan mendasar yang bertujuan, yang beroperasi secara konkrit sebagai pedoman dan pegangan untuk mencapai tujuan-tujuan luhur kemasyarakatan atau kebangsaan (Mubyarto, 1997; Habermas, 1975).
Istilah “merdeka” atau “kemerdekaan” rasanya cukup memadai untuk menggambarkan apa itu “telos”. Jargon “merdeka” adalah ide politik yang hidup di dalam hati para pejuang dan pendiri bangsa, baik itu di masa sebelum maupun sesudah momen proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ide inilah yang mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya. Ide ini pulalah yang menjadi inspirasi untuk mempertahanan kemerdekaan dan mengisinya.
Pada perspektif ini, telos bangsa tersebut sudah bertransformasi menjadi ideologi, yang bekerja sebagai “sumber legitimasi”, yang mengkonstitusi dan mengkoordinasikan seluruh jalinan relasi kuasa yang khas antara rakyat dan pemerintah.
Menggunakan istilah hari ini, ideologi adalah “algoritma kekuasaan”, yaitu bahasa pemrograman utama yang dipergunakan oleh semua orang dalam lingkup kehidupan masyarakat politik.
Pancasila sebagai ideologi negara memiliki nuansa dan ‘telos’ yang berbeda-beda di berbagai era kepemimpinan. Di era Orde Baru pemerintahan Soeharto kita mengenal istilah “Kesaktian Pancasila”.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana seharusnya ideologi itu diajarkan? Sebagai suatu ilmu, ideologi haruslah dilihat sebagai sesuatu yang netral namun tetap bertujuan, meski walaupun pada prakteknya terkadang dipersepsi secara keliru sebagai yang negatif.
Seyogyanya inilah yang dapat dijernihkan. Ideologi hendaknya dapat kembali diajarkan sebagai telos, yaitu landasan fundamental yang berguna sebagai lima batu pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang antara lain berisikan cita-cita, tujuan, yang didalamnya inheren terselip nilai dan norma bangsa—yang akan selalu dipakai sebagai pakaian, baik ketika sedang berada dalam posisi ‘imam’ yang-memerintah, maupun pada saat berada dalam posisi sebagai ‘makmum’ yang seyogianya ta’at pada segala perintah yang akan membawa kemaslahatan pada segenap bangsa.
Pengajaran akan nilai-nilai, cita-cita, dan lima (5) tujuan luhur kebangsaan inilah (ideologi negara) yang seharusnya kembali digalakkan.
Luaran dari pengajaran ini harus bisa menjadi pedoman berperilaku bagi warga, dan terutama pedoman berprilaku dari para pengelola negara pada saat berinteraksi dalam ruang politik yang sarat kepentingan.
Hasil pengajaran ini menjadi benchmark untuk mengukur kelaikan dari segala macam program politik yang dicetuskan rakyat dan pemerintah. Sehingga, ideologi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, lepas dari kenyataan hidup dan kepentingan hidup masyarakat banyak. Ideologi adalah produk kebudayaan masyarakat, dan pada saat yang bersamaan merupakan manifestasi kenyataan sosial.
Pada pemahaman semacam ini, Pancasila merupakan living ideology, yaitu ideologi negara yang hidup, menyatu dan dihidupi sepenuh hati oleh warganya. Ideologi yang hidup dalam keseharian akan bersifat memanusiakan (sila kedua), akan berefek positif pada terpeliharanya kesatuan (sila ketiga), akan bersifat argumentatif karena menyadari perbedaan, yang karenanya akan bersifat merawat dan menghormati mekanisme yang ada seperti musyawarah serta memelihara kolektivitas di dalam perbedaan kepentingan.
Terakhir, kesatuan antara sila pertama, kedua, ketiga dan keempat tersebut akan berujung pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama di era teknologi informasi hari-hari ini yang memang memerlukan 5 batu pijakan tersebut guna memelihara kesatuan tanah air yang sama-sama kita cintai ini.
Hendaknya hal-hal inilah yang menjadi konten utama pembelajaran pendidikan ideologisasi Pancasila. Dengan cara inilah kita semua mensyukuri, menghayati dan memperingati Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni di tahun ini.