Oleh I. Aeni Muharromah
Belakang ini penggunaan istilah Wakanda, kanoha dan Zimbabwe banyak dipakai di media sosial (medsos). Bahkan menjadi tranding istilah tersebut. Pengguna Medsos seringkali menjadikan nama Wakanda sebagai guyonan. Biasanya, mereka akan menyebut nama Wakanda ketika tak mau terang-terangan menyebut nama suatu tempat atau daerah karena alasan tertentu. Mengganti Indonesia dengan Wakanda di Sosmed menjadi biasa ditemukan. Siapapun yang membaca kata Wakanda, pikiran melesat membayangkan Indonesia.
Mengapa Wakanda jadi popular?
Beberapa tahun yang lalu, warganet Indonesia sering menyebut nama Indonesia dengan julukan negara berflower atau negara +62. Kalau negara berflower artinya negara berkembang di mana di Indonesia sering kali terjadi hal-hal yang sering ada di negara yang belum maju seperti kualitas SDM dan literasi yang rendah. Kemudian ada istilah +62 yang merupakan kode telepon Indonesia di dunia internasional.
Pemilihan kata atau diksi digunakan oleh penggunanya ini sudah menjadi kebiasaan dan lumrah terjadi. Sejalan denganpemikiran Keraf. Bahasa adalah suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Makna sebuah kata tergantung dari konvensi (kesepakatan) masyarakat bahasa yang bersangkutan (Keraf, 2004).
Akhir-akhir ini warganet Twitter atau medsos lainnya kerap mengganti kata Indonesia dengan istilah Wakanda sebagai bentuk sindiran. Selain itu kata Konaha dan Irlandia. Warganet pengguna medsos menganalogikan Indonesia dengan kata apapun selagi dipahami dan disepakati oleh orang lain akan terlahir diksi tersebut.
Untuk apa diksi Wakanda dipakai?
Diksi yang terakhir Wakanda untuk Indonesia, bila diamati dengan teliti warganet ramai merepresentasikan makna Wakanda dengan Indonesia. Kala ditelisik lebih jauh istilah diksi Wakanda adalah negara fiksi di benua Afrika yang sebenarnya kaya raya namun masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, memiliki pengertianngan positif. Namun mengapa warganet menganalogikan keadaan atau kondisi negatif Indonesia dengan diksi Wakanda? Mengapa perumpamaan mengambil makna yang sebaliknya?
Justru Indonesia lebih masuk akal apabila dimiripkan dengan Sokovia, sebuah negara fiksi di Eropa yang merupakan negara gagal bila menganggkat perumpamaan terhadap ketidakpuasan dan atau keadaan negatif. Sebutan Wakanda adalah Indonesia di Sosmed, dimaknai ejekan karena rasa kecewa atas kebijakan pemerintah. Wakanda pun hadir mewakili rasa kecewa.
Senada dengan apa yang diutarakan Hikmat Darmawan seorang penulis yang juga pengamat sosial melalui akun twitternya @hikmatdarmawan pernah melontarkan keheranannya terhadap konotasi yang berbeda mengenai Wakanda. Mengapa warganet Indonesia menggunakan kata Wakanda secara negatif? cuitannya Selasa, 4/1.
Pemilik akun lain twitter Changmin’s Long Legs @AngryNeeson52_ memberikan penjelasan bahwa penyebutan Wakanda sebagai reaksi karena takut terkena masalah dengan apa yang dicuitkan. Alasan lain dari warganet “Bukannya awalnya nyebut wakanda karena takut kalo kena masalah/lawsuit? Jadi cari amannya pake negara fiktif untuk kritik2. Knp wakanda yah krn black panther lagi nge trend aja at the moment. Sy nangkep nya kyk gitu. Menghindari nyebut Indonesia secara eksplisit krn avoiding lawsuits,” jelas @AngryNeeson52.
Dari sekian alasan mengunakan perumpamaan diksi Wakanda untuk Indonesia merupakan satir yang dibuat metafor negara fiksi tersebut untuk makna Indonesia. Ini untuk mengaburkan atau menyembunyikan arti yang utama.
Akademisi Universitas Multimedia Ninik M Kuntara dalam unggahan yutobe menilai Wakanda merupakan gaya Bahasa pengontrasan ironis atau satire, secara implisist Indonesia dibandingkan dengan negara Wakanda sebuah negeri fiksi indah, kaya raya, damai maju.
Tujuan pemakaian bahasa pengontrasaan adalah untuk menuturkan sesustu secara berlebihan dan berkebalikan. Artinya suasana yang disampaikan penutur adalah pengertian sebaliknya. Diksi Wakanda adalah satir yang ditunjukan Indonesia untuk mengungkapkan ironi terhadap realitas. Warganet menggunakan menggunakan sindiran atau ironi supaya terhindar dari UU ITE dalam memberikan kritikan. Dalam upaya menghaluskan makna tersembunyi dengan diksi satir.
Satir yang kebablasan
Sekalipun Satir adalah bagian dari gaya bahasa yang sangat lumrah digunakan namun hendaklah penutur bahasa juga harus mempertimbangkan nilai dan pengaruh lain yang akan timbul. Kasus penonaktifan Rahma Sarita staf tenaga ahli pimpinan MPR (suara.com) akibat unggahan satir Wakanda dengan Pancasila sebagai lambang negara dengan lima sila versi negri fiktif Wakanda yang berbeda dengan Pancasila dasar negara Indonesia. Warganet juga ikut berbondong bondong bereaksi bahkan menghujat bahwa itu sudah keterlaluan.
Meskipun Rahma telah menjelaskan bahwa dia tidak ada niatan melecehkan Pancasila dasar negara dan lambang negara garuda Pancasila karena sesunguhnya dia sedang membicarakan Pancasila negara Wakanda sebagaimana postingan dia hari berikutnya.
Tetap tidak merubah keputusan bahwa Rahma telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2009 mengenai Lambang Negara dan tidak menjalankan kebijakan MPR dalam menjaga dan mensosialisasikan empat konsensus kebangsaan. Sekalipun mengunakan satir dan ironi namun ada rambu-rambu yang harus dijaga. Ada nasionalisme yang harus tetap dipelihara, ada norma sosial dan norma religi yang juga terbawa dalam tanggung jawab kita dalam berekspresi. Jangan sampai satir menjadi ejekan yang dapat menjatuhkan martabat kita berbangsa.
Satir yang Indah
Ungkapan kritik yang membangun bisa dinyatakan dalam untaian kata-kata indah penuh makna dan perumpamaan yang sepadan. Bila narasinya indah, bisa dimengerti dan bahkan dihayati makna satirnya tentulah banyak pembaca yang terpesona dan menerima kritikan tersebut.
Banyak penulis mengungkapkan pikiran dan ide-idenya bahkan kritikannya diungkap dengan metafor atau satir yang tidak merusak tatanan, norma sosial dan nilai religi, malah enak dibaca dan diikuti. Kritikan yang membuat pembaca terhenyak kagum, tetapi juga melibatkan partisipasi berpikir dan keberpihakan. Misalnya Taufik Ismail banyak membuat puisi satir yang ditujukan pada pemerintah, maksudnya sampai dan pembaca pun tidak merasa terlukai. Banyak pula satir dalam pantun.