AM Iqbal Parewangi, Ketua Majelis Istiqamah ICMI Muda dan Mantan DPD RI 2014 – 2019, menjelaskan bahwa model kepemimpinan yang ideal dalam Islam itu merupakan antithesis terhadap model kepemimpinan demokrasi dan model kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan ideal menurut Islam dalam konteks Indonesia, menurut Parewangi, semuanya sudah termanifestasikan dengan baik pada model kepemimpinan NU dan Muhammadiyah.
Ide ini disampaikannya dalam ngaji kepemimpinan dalam Islam yang diselenggarakan oleh Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy pada Sabtu (09/04/2022).
Parewangi mengawali diskusi soal kepemimpinan dengan menegaskan bahwa kepemimpinan harus dipahami dalam bingkai kata kerja, bukan kata benda.
“Karena itu, dalam konteks perbincangan kita terkait demokrasi dan otoriter, kepemimpinan dalam bingkai kata kerja ini bisa diungkapkan kembali dengan kalimat imperative seperti jadilah pemimpin, jadilah penguasa, jadilah pemerintah,” tegas Parewangi.
Karena mengimplikasikan keteladanan dalam tataran yang lebih luas, kepemimpinan ini harus diisi oleh orang-orang baik. “Jangan sampai kepemimpinan diisi oleh orang-orang jahat, orang-orang yang kerjanya hanya plonga-plongo, koruptor, anti rakyat,” lanjut Parewangi.
Setelah menjelaskan model kepemimpinan dalam bingkai kata kerja sebagai sebuah proses, Parewangi kemudian menjelaskan model kepemimpinan otoriter dan demokrasi. Dalam konteks kepemimpinan otoriter, Parewangi menegaskan bahwa kepemimpinan otoriter berbasis pada prinsip bahwa bahwa kekuasaan politik terkonsentrasi pada satu pemimpin, entah itu pada tataran pemerintah, individu maupun oligarki.
“Dalam model kepemimpinan otoriter, sarana itu dibalik menjadi tujuan,” tegas Parewangi. “Karena itu, model kepemimpinan otoriter bukanlah model kepemimpinan yang ideal dalam Islam,” jelasnya.
Setelah itu, Parewangi menjelaskan model kepemimpinan demokrasi. Mengutip Abraham Lincoln dan John L Esposito, Parewangi memaparkan bahwa demokrasi ialah sistem kepemimpinan dan pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. “Definisi ini memang sangat manis sekali tapi bukan pendekatan yang ideal dalam Islam,” lanjutnya.
Lalu apa dan bagaimana model kepemimpinan yang ideal dalam Islam?
Parewangi menegaskan lebih jauh bahwa model kepemimpinan yang ideal dalam Islam berbasis pada kalimat syahadat: tidak ada tuhan selain Allah. Konsekwensi logis dari kalimat ini ialah bahwa tidak ada kekuasaan selain dari Allah.
“Atas dasar ini, model kepemimpinan demokrasi yang berbasis dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu tidak berlangit. Kepemimpinan yang ideal dalam Islam harus menekankan keseimbangan relasi dengan langit, hablum minallah dan dengan bumi, hablum minanas,” papar Parewangi. Karena itu, demokrasi menurutnya, sangat menuhankan rakyat.
Berbasis pada konsepsi demikian, Parewangi kemudian mencoba mengkonkritkan kembali kepemimpinan dalam konteks Indonesia. Menurutnya, meski demokrasi bukan model kepemimpinan yang ideal, demokrasi Pancasila yang berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat dekat dengan konsepsi kepemimpinan dalam Islam.
Model kepemimpinan demokrasi ala Pancasila ini diejawantahkan dengan baik oleh ormas-ormas Islam, terutama yang sudah mengakar secara historis dalam sejarah Indonesia: NU dan Muhammadiyah.
“Dua organisasi inilah yang memberikan contoh kepemimpinan yang sesuai dengan model kepemimpinan demokrasi Pancasila yang sangat dekat dengan Islam,” tegas Parewangi.
Dan di akhir pemaparannya, Parewangi menampilkan satu kesimpulan yang cukup mengejutkan. “Ke depan, pada pemilu tahun 2024 nanti, NU dan Muhammadiyah harus bersatu, membentuk front kesejarahan, membangun kesadaran bersama untuk tampil dalam kepemimpinan nasional, menjadi presiden dan wakil presiden,” pungkas Parewangi.
Simak penjelasannya lebih jauh pada video berikut ini: